Nge-(G)ojek

بسم الله الرحمن الرحيم

[left-post]

Go-Jek, sebuah layanan transportasi yang kini sedang rame-ramenya di Indonesia, terutama di beberapa wilayah yang sudah tercakup oleh Go-Jek, seperti Jabodetabek, Bandung, serta Bali. Sempat menjadi ramai pula karena adanya aksi penolakan terhadap layanan transportasi ini. Layanan Go-Jek yang merupakan sebuah usaha revolusi di bidang transportasi Ojek. Ojek yang biasanya mempunyai pangkalan-pangkalan ojek (PO) masing-masing dan hanya mengantar penumpang, kini fungsinya bertambah dengan adanya Go-Jek.

Semakin banyaknya driver Go-Jek sempat (bahkan masih terjadi di beberapa tempat) membuat ojek-ojek pangkalan menolak kehadiran mereka, karena dianggap mengambil jatah penghasilan mereka. Spanduk-spanduk penolakan pun bertebaran. Bahkan sampai tersebar berita adanya driver Go-Jek yang digebuki ojek-ojek pangkalan. Lalu kini para driver pun tidak lagi memakai atribut Go-Jek (jaket dan helm) untuk menghindari keributan-keributan seperti yang pernah terjadi. 


Saya pribadi baru kemarin (08/09/2015) mencoba menggunakan layanan transportasi ini. Dua kali saya menggunakan layanan ini untuk pergi dan pulang dari kampus selepas kuliah. Well, berikut ceritanya...

Pertama, saya menggunakan Go-Jek untuk berangkat ke kampus. Saya tinggal di Sadangserang, Kota Bandung lalu berkuliah di Universitas Padjadjaran yang terletak di Jatinangor, Kabupaten Sumedang. Jarak sejauh sekitar 20 KM harus saya tempuh setiap harinya dengan menggunakan sepeda motor (total sekitar 40 KM PP). Jarak yang cukup jauh bagi saya, memerlukan waktu yang tak sebentar (40-60 menit), belum lagi terjebak kemacetan di beberapa titik, seperti di Terminal Cicaheum, area Pasar Ujungberung dan tentunya Cibiru yang selalu padat. Terkadang memang lelah (oke ceritanya ini curhat, :D) untuk berangkat pergi-pulang begitu. Mendengar sedang adanya promo dari Go-Jek yakni tarif Rp 10.000 untuk jarak maksimal 25 km, tentunya saya cukup tertarik. Sebenarnya ada pilihan lain untuk menggunakan transportasi umum, yakni dengan menggunakan Bus DAMRI, namun karena akan memakan waktu yang lebih lama (sekitar 1,5 jam) untuk sampai ke Kampus, maka saya pun memutuskan untuk menggunakan Go-Jek.

Promo Rp 10.000 di bawah jarak 25 KM


Sekitar jam 6.33 saya buka aplikasi Go-Jek, lalu memesan (booking) driver, dan ternyata beberapa detik kemudian si driver pun menelepon saya untuk memastikan pesanan. Ternyata driver-nya pun orang Sadangserang. Beberapa menit kemudian tukang Go-Jek itu pun datang, lalu bilang, "Buru-buru, A?" Saya pun menjawab, "Yaaa pokokna mah sebelum jam 8 lah," si driver pun bilang bahwa sebelum jam 8 sudah sampai tujuan. 

Sepanjang perjalanan kami pun mengobrol ini-itu sehingga perjalanan sepanjang 19,96 km pun tidak terlalu lama terasa. Driver Go-Jek pertama saya ini umurnya sekitar 30an, pekerjaan sehari-harinya adalah sebagai "tukang nagih", begitu katanya untuk menyebutkan pekerjaannya sebagai Debt Collector. Ia pun mengaku bahwa pekerjaannya sebagai tukang Go-Jek ini dijalaninya sebagai tambahan pemasukan. Ia mempunyai dua anak (5,5 tahun dan 2,5 tahun), sehingga ia harus mencari tambahan pemasukan selain dari pekerjaan sehari-harinya. Sudah enam bulan ia bekerja di Go-Jek. Menurut penuturannya, di Bandung sendiri sekitar 17.000 driver (kalau saya gak salah dengar) sudah terdaftar.


Driver Go-Jek pertama saya 
Ketika ditanya mengenai kemungkinan terjadinya bentrok dengan ojeg pangkalan, ia berkata bahwa semakin ke sini ojek pangkalan pun sudah semakin dirangkul untuk menjadi tukang Go-Jek. Salah satu yang terjadi adalah di Sadangserang, sampai beberapa hari yang lalu masih terpampang spanduk besar berisi penolakan kehadiran Go-Jek, namun sekitar dua hari yang lalu spanduk itu sudah tidak ada. Menurutnya, pangkalan ojek di Sadangserang pun sudah terdaftar sebagai driver Go-Jek. Karena memang sekarang-sekarang ini rekrutmen Go-Jek lebih diutamakan dari kalangan ojek pangkalan, hal ini mungkin agar bisa lebih merangkul ojek pangkalan sekaligus meminimalisir bentrokan antara ojek pangkalan dan Go-Jek.

[info title="Info" icon="info-circle"] Tulisan ini termasuk dalam kategori Instagram Stories, anda juga bisa mengikuti instagram saya di sini. [/info] Di tengah perjalanan ia berkata, "A, jangan lupa kasih rating ya, A. Nanti soalnya diliat di kantor." Yap, memang, selepas sampai tujuan, aplikasi Go-Jek di smartphone kita akan memunculkan notifikasi untuk memberikan rating dan komentar terkait driver Go-Jek. 

Itu yang pertama.

Sore harinya, selepas sholat asar di Masjid Al-Jabar, ITB Jatinangor, dengan percaya diri saya naik Bus DAMRI di Pangkalan Damri (Pangdam) di depan kampus Unpad. Tanpa bertanya-tanya terlebih dahulu saya pun duduk di dalamnya. Bis pun berjalan hingga akhirnya sampai di daerah Mohammad Toha, saya pun sadar bahwa saya salah naik Bis! Harusnya saya menggunakan DAMRI trayek Dipati Ukur - Jatinangor, tapi yang saya naiki malah trayek Elang-Jatinangor. Akhirnya, saya pun turun di Terminal Leuwipanjang. Sempat berpikir untuk menggunakan angkot, namun karena pastinya akan memakan waktu yang lama plus akan beberapa kali naik angkot, akhirnya saya pun kembali menggunakan tukang Go-Jek. Ah, memang dasar hari itu saya harus memakan Go-Jek.

Kali ini tak secepat yang pagi, karena mungkin terjebak macet juga, si driver pun baru sampai sekitar 15 atau 20 menit kemudian.

"Firman?" tanya si driver Go-Jek,
"Iya, Pak." Akhirnya bertemulah kami dan saya pun kembali menggunakan Go-Jek.

Sama seperti sebelumnya, saya pun mengobrol dengan driver Go-Jek yang kedua. Cerita driver ini pun tak kalah menarik. Umurnya sekitar 40an akhir, ia tinggal di Babakan Ciparay (dekat dengan Terminal Leuwipanjang). Bapak ini ternyata adalah petugas kebersihan di kelurahan. Ia telah bekerja di sana selama dua tahun dengan gaji Rp 1.250.000 per bulan jika lancar. Jika lancar? Ya, karena menurutnya di awal-awal ia  bekerja, anggaran untuk gajinya belum cair hingga ia hanya mendapat upah sekitar Rp 500.000, ia pun menambah penghasilan dengan berjualan ini-itu. 

Go-Jek driver di sekitar Sadangserang


Lalu kapan ia bergabung dengan Go-Jek? Saat saya tanyakan itu, ia menjawab, "Baru kemarin daftarnya." Ternyata saya adalah pelanggan pertama bagi si bapak ini, ya cocoklah, saya baru dua kali memakai Go-Jek, sementara si bapak ini baru sekali menaikkan penumpang. Diakuinya, ia menjadi driver Go-Jek untuk menambah pemasukan. Gajinya selama menjadi petugas kebersihan tidak cukup untuk memenuhi biaya rumah tangga dan pendidikan bagi kedua anaknya. Ia pun berkata bahwa ia diajak oleh tetangganya yang sudah telebih dahulu menjadi tukang Go-Jek. Di RT nya pun malah sudah ada lima orang yang jadi driver Go-Jek, kesemuanya menjadikan Go-Jek sebagai penghasilan tambahan. Karena memang driver baru, bapak ini pun mengatakan ia masih belajar untuk menggunakan smartphone-nya. Ia pun masih belum begitu hafal rute perjalanan. 

Dari penuturannya, saya mendapat informasi bahwa untuk smartphone yang digunakan itu ia harus mencicil sebesar Rp 20.000 selama 25 minggu, yang berarti ia harus membeli smartphone itu seharga Rp 500.000. Untuk mendaftar pun, para calon tukang Go-Jek ini harus memiliki SIM-C serta STNK dan surat-surat lainnya. 

Well, dua kali memakai Go-Jek pada hari yang sama memberikan kesan tersendiri bagi saya. Pertama, bahwa Go-Jek telah menjadi pilihan baru untuk mendapatkan pemasukan, jika rajin mencari penumpang, penghasilan yang didapat konon bisa sampai 4-6 juta per bulan, gaji yang cukup besar mengingat pekerjaan mereka yang menjadi pengantar penumpang atau pun mengantar pesanan makanan, barang dan sebagainya. Lalu dengan jam kerja yang lebih santai, yakni semaunya mereka, maka mereka lebih memilih menjadi tukang Go-Jek untuk pemasukan tambahan. Go-Jek pun memberikan lapangan pekerjaan baru.

Memakai Go-Jek ternyata cukup nyaman, dengan driver yang ramah (mungkin memang ada arahan untuk mengajak ngobrol dan mengenal pelanggan) serta cepat dengan biaya yang cukup terjangkau. Ya, Go-Jek menjadi transportasi alternatif.

Meski begitu, beberapa pekan ke belakang terdapat berita yang cukup besar terkait Go-Jek, yakni banyaknya sarjana-sarjana yang juga justru mendaftar sebagai Go-Jek. Apakah salah? Memang itu kembali ke pikiran kita masing-masing. Dari hasil obrolan dengan kedua tukang Go-Jek, saya dapati bahwa alasan penghasilan yang lumayan tentunya menjadi alasan kenapa sarjana-sarjana ini mendaftar sebagai Go-Jek. Ada hal yang disayangkan tentunya saat gelar sarjana itu agak melenceng jauh apabila menjadi tukang Go-Jek, tapi yaa itu kembali ke pilihan masing-masing.

Yah, begitulah cerita dan pendapat saya tentang Go-Jek yang sedang booming-booming-nya ini. 

Pernah naik Go-Jek? Atau punya pandangan sendiri tentang Go-Jek? Yuk sampaikan di bagian komentar di bawah. :D

No comments:

Silakan berkomentar, gunakanlah bahasa yang santun dan sopan serta sesuai dengan tulisan di atas