Menuju Cahaya, Kisah Bilal Philips Menemukan Islam

بسم الله الرحمن الرحيم

Hidayah adalah sudah menjadi hak prerogratif bagi Allah, Allah mempunyai kuasa mutlak dalam penentuan kepada siapa Dia akan memberikan anugerah keislaman, keimanan pada seseorang. Telah banyak kita temui, atau pun kita baca mengenai orang-orang yang menemukan Islam. Masing-masing dari mereka tentunya memiliki jalan mereka masing-masing dalam menemukan Islam. Tentunya, anugerah keislaman dan keimanan bagi mereka adalah sebuah nikmat besar yang mereka dapatkan.

Salah satu dari sekian banyak kisah para mualaf yang seringkali menyentuh hati, ada satu kisah yang juga tak kalah menyentuhnya, tak kalah membuat kita (seorang muslim dari kecil) terkadang malu karena keislaman mereka lebih dahsyat. Kali ini ada sebuah kisah menarik mengenai Bilal Phillips (nama aslinya Dennis Bradley Philips), atau lebih lengkap Abu Aminah Bilal Phillips. Siapakah dia? Bagaimana kisahnya dalam menemukan cahaya Islam? Insya Allah akan diuraikan lebih lanjut.



Pada Selasa malam (15/09) Dr. Bilal Phillips datang sebagai pembicara dalam kajian bertajuk "From the Darkness Into the Light", yang diselenggarakan oleh Pemuda Al-Hijrah yang bekerjasama pula dengan Kajian Cisangkuy serta Masjid Al-Lathiif, Bandung. Ditemani seorang penerjemah, Dr. Bilal Phillips memulai kisah perjalanannya..

Ia dilahirkan di Jamaika, negara yang terkenal dengan Bob Marley serta Reggaenya. Jamaika pula merupakan negara yang hampir seluruhnya beragama kristen. Ayahnya adalah salah seorang pemimpin Gereja di daerahnya. Sejak kecil juga tentunya ia sudah diajari pengajaran agama kristennya. Memasuki usia tujuh tahun, mereka pindah ke Toronto, Kanada. Lagi-lagi ia pun berada di lingkungan kristen sehingga baginya tak terpikirkan sedikit pun akan adanya agama lain selain kristen.

Lepas bersekolah di SMA (High School) ia pindah ke Sabah, dekat Kinabalu. Di sana, orang tua beliau bekerja sebagai guru. Saat itu tidak terlihat adanya tanda-tanda keislaman (saat itu masih masa kolonial Britania), bahkan tidak ada satu masjid pun di sana.

Di Sabah, ibunya bertemu dengan orang Indonesia yang memiliki anak laki-laki. Ada suatu masalah yakni bahwa si anak laki-laki ini tidak bisa melanjutkan pendidikan ke Universitas karena ia bukan seorang Malaysia, saat itu hanya orang Malaysia lah yang bisa meneruskan pendidikan ke Universitas. Setelah berbagai pembicaraan, akhirnya si anak ini pun diadopsi menjadi anak angkat keluarga Philips. Anak angkat ini pun begitu dekat dengan mereka dan tentunya tinggal bersama. Hingga suatu saat Denis Philips melihat sodara angkatnya itu sedang meletakkan kepalanya di bawah dengan kedua tangan di sebelah kepalanya (gerakan sujud). Tak hanya di sana, Denis melihat perbedaan lain antara keluarganya dan anak itu. Misalnya saat ibunya memasak daging babi, ibunya pula memasak ikan khusus untuk disajikan kepada sodara angkatnya itu. Juga pada saat akhir pekan, saat mereka sekeluarga meminum Wine, si anak ini malah disuguhi Jus Anggur. Tak cukup sampai di situ, bahkan saat tiba bulan Ramadhan, ibunya rela untuk bangun lebih awal, membangunkan anak angkatnya dan menyiapkan makanan untuk sahur. Beberapa hal ini yang tidak ia mengerti saat itu.

Ibunya lantas mempelejari berbagai agama (perbandingan agama) di Universitas. Di sana berdasarkan yang ia baca, ia menemukan bahwa begitu banyak kebaikan dalam Islam sehingga ia pun menaruh respek terhadap agama ini.

Salah seorang Profesor di sana yang ketika berbicara tentang Hindu, maka ia menyebutkan hal-hal kebaikan dari Hindu, begitu pula saat berbicara tentang Budha, Confusius dan agama-agama lainnya. Hingga akhirnya sampai pada pembahasan mengenai Islam, sang Profesor ini menyebutkan bahwa tidak ada satu pun kebaikan di dalam Islam. Lalu akhirnya terkuak bahwa sang Profesor ini beragama Yahudi. Merasa tidak puas, akhirnya Ibu beliau pun mencari buku-buku mengenai Islam sehingga ia pun bisa mendebat si Profesor terkait keislaman.

Sementara itu di rumah, Denis Philips beserta saudara kandungnya pun makin sering memperhatikan saudara angkat mereka. Meski penasaran, namun mereka terlalu malu untuk menanyakannya. Begitu pula saudara angkat mereka pun terlalu malu untuk menceritakan mengenai agamanya. Maka begitulah terus mereka tak pernah membahas terkait hal itu.

Suatu ketika, salah seorang Profesor yang mengajar Denis adalah ternyata seorang Sosialis-Komunis, yang selalu berbicara mengenai ide-ide besar nan indah dari paham Sosialis-Komunis. Sementara, ia melihat bahwa Kristen tidak mempunyai program di dunia, mereka hanya berbicara mengenai adanya surga setelah mereka mati, tapi tidak konsep mengenai apa yang harus mereka lakukan di dunia. Karena dua hal tersebut, akhirnya ia berkeyakinan bahwa Sosialis-Komunis menjadi solusi sehingga ia pun akhirnya mengikuti paham tersebut serta menjadi bagian di dalam Partai Komunis. Ia pun mempelajari Marxism, Leninism dan berbagai literatur-literatur lainnya dalam Sosialis-Komunis ini.

Hingga akhirnya ia membaca berbagai literatur-literatur tersebut sekaligus ia pun telah menjadi seorang Sosialis-Komunis selama bertahun-tahun, ia menyadari ternyata sistem ini (Komunis) tidak menghasilkan sesuatu apapun sebagai solusi. Ia menganggap bahwa Sosialisme ini tidak bisa bersaing dengan Kapitalisme. Akhirnya ia pun kembali ke Toronto, berpikir dan terus mencari sistem apa yang bisa menghasilkan keadilan di bumi.

Ada salah satu temannya di Partai Komunis (seorang wanita) yang ternyata telah masuk Islam. Dengan penuh keheranan, Philips pun berkata kepadanya, "How?" Bagaimana? Bagaimana mungkin kamu memeluk suatu agama padahal sebelumnya kau menentangnya? Bagaimana mungkin? Bukankah agama itu adalah candu? Candu yang membius pemeluknya dengan iming-iming surga setelah mereka mati sementara mereka terus beribadah di dunia?
Lalu jawab temannya ini, "Yes.. Maybe Christian is opium. Hinduism is opium. Buddhism is opium. But Islam isn't opium. It's different."

Philips pun pada akhirnya mencoba mencari buku-buku referensi mengenai islam. Ia pun menemukan bahwa sesuatu hal yang baik dalam Sosialis-Komunis, ada pula dalam Islam. Sesuatu hal yang baik dalam Kapitalisme, ada pula dalam Islam. Hingga akhirnya ia menemukan bahwa segala apa yang baik ada dalam Islam, dan sebaliknya segala hal yang buruk tidak ada dalam Islam. Pada saat itulah secara intelektual ia mengakui bahwa Islam adalah sebuah jalan, sebuah solusi.

Namun ia belum mau masuk ke dalam Islam. Ada sebuah keseganan karena selama bertahun-tahun ia adalah seorang komunis yang menolak adanya eksistensi tuhan di semesta raya ini. Ia menjadi ragu karena hal itu, ragu untuk kembali menjadi pemeluk sebuah agama, seolah ia tak memiliki kekuatan spiritual untuk hal itu.

Pada suatu ketika, di sebuah rumah yang ia sewa bersama kawan-kawannya, ia tertidur lalu bermimpi. Ia bermimpi berada di sebuah gedung yang besar, lalu ia memasukinya, didapatinya sebuah keadaan yang gelap. Entah mengapa, dalam mimpi itu ia terus masuk ke dalam dan semakin gelap hingga ia pun menyebutnya sebagai "Totally Darkness," saat itu pula ia merasakan sebuah kengerian, sebuah ketakutan yang amat besar yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya, "It is fear of death!", ketakutan akan kematian.

Masih dalam mimpinya, ia melihat ada dua orang yang datang, lalu membawa sebuah buku dari rak di sana lalu membacanya. Ia pun mencoba berteriak sekencang-kencangnya meminta bantuan, namun apa daya, teriakannya hanya sampai tenggorokannya. Saat itulah ia merasa akan benar-benar mati, dan ketika itu pula ia terbangun dari tidurnya. Mimpi itu pun sangat membekas baginya dan merasakan bagaimana setelah ia hanya pasrah terhadap Tuhan, ia keluar dari ketakutan dalam mimpi itu.

Pada akhirnya, ia pun masuk Islam dan berganti nama menjadi Bilal Philips. Ia pun lalu diajari solat dan ketika sampai pada gerakan sujud ia pun lalu teringat akan saudara angkatnya. Pada saat itu menurutnya, ia bahagia sekaligus marah. Ia pun lalu pergi ke Ottawa lalu bertemu dengan saudara angkatnya, lalu berkata bahwa ia telah masuk Islam, saudara angkatnya pun senang bukan main. Tapi saat itu Bilal Philips bahagia sekaligus marah, ia berkata, "Bagaimana mungkin kamu tidak menceritakan Islam kepada kami?"
Maka jawab saudara angkatnya, "Saya malu, keluarga ini telah baik pada saya, saya takut mengacaukannya apabila mencertikan tentang ini."
Mendengar ini, Bilal Philips berkata, "Sesungguhnya malunya kamu tentang itu benar-benar salah."
Pada saat itu, Bilal Philips berkata pada hadirin yang ada di kajian, "Di sekeliling kita ada saudara-saudara kita yang jauh dari Islam, yang tidak mengetahui Islam, maka menjadi kewajiban kita juga untuk memberitahu mereka tentang Islam."

Kembali ke cerita, ia pun lalu memberitahukan perihal keislamannya pada orangtuanya. Ternyata kedua orangtuanya pun senang. Ibunya yang telah mengetahui Islam dari perbandingan agama, sangat menerima keputusan itu, begitu pun dengan ayahnya.
Sang ayah bahkan sudah tidak ke gereja, maka saat Bilal Philips bertanya padanya mengenai itu, ayahnya berkata bahwa saat umur 30 tahun, ia pernah diajari mengenai ilmu logika, dan saat ia berpikir mengenai Jesus, ia berkata bahwa secara logika tidak mungkin Jesus adalah Tuhan. Maka semenjak itu, ayahnya sudah tidak lagi pergi ke gereja.

Semenjak itu lah, Bilal Philips pun lalu mempelajari Islam dengan serius. Lalu suatu saat ada begitu banyak imigran-imigran yang datang dari Pakistan, India dan sekitarnya. Ia bertemu dengan mereka dan berdiskusi mengenai Islam. Saat itu, mereka berkata bahwa tidak cukup hanya berislam, tapi ikutilah satu mahdzab di antara empat mahdzab yang ada. Mereka menyarankan mahdzab Hanafi yang menurutnya merupakan mahdzab yang paling banyak diikuti di dunia. Maka, Bilal Philips pun mengikuti mereka.

Pada suatu ketika lalu ia datang ke Toronto, dan pergi ke masjid di sana (saat itu hanya ada dua masjid di Toronto). Ia lalu bertemu dengan Imam masjid tersebut. Imam masjid ini lalu menerangkan Islam, ia berpendapat menggunakan dalil, baik dari Al-Quran maupun hadis nabi. Bilal Philips lalu merasa ada perbedaan antara yang ia dapatkan dari imigran Pakistan dan India dengan Imam ini. Maka ia pun bertanya pada Imam ini, sang Imam lalu berkata bahwa ia mengikuti mahdzab Syafi'i.

Lalu suatu saat ia pun bertemu dengan orang-orang yang berasal dari Maroko serta Sudan. Lagi-lagi ia melihat adanya perbedaan antara orang-orang ini dengan imigran Pakistan, India juga perbedaan dengan Imam di Toronto. Ternyata orang-orang Maroko dan Sudan ini berkata padanya bahwa mereka mengikuti mahdzab Maliki. Maka saat itu Bilal Philips bingung bukan main, karena yang ia tahu Islam hanya satu, hanya ada satu Islam. Meski setelah itu dikatakan padanya bahwa keempat mahdzab itu benar, ia hanya perlu mengikuti salah satu dari padanya. Ia pun tetap bingung karena Islam itu satu tapi dengan empat jalan yang benar?
Akan sangat aneh katanya, karena misalnya pada mahdzab Syafi'i bila kita tidak sengaja bersentuhan dengan perempuan, maka wudhu kita batal, namun menurut mereka yang mengikuti mahdzab Hanafi, berpendapat bahwa wudhunya tidak batal. Maka tuturnya, bagaimana mungkin ia bisa memiliki wudhu dan tidak memiliki wudhu dalam waktu yang sama? Baginya hal itu mirip dengan perkataan orang-orang Kristen terkait Trinitas, yakni mereka mengatakan bahwa tuhan mereka itu tiga, tapi juga satu!

Maka untuk menemukan jawabannya, ia meninggalkan Amerika Utara, lalu pergi ke tempat di mana Islam lahir, maka ia pergi ke Arab, ia pergi ke Madinah. Ia belajar bahasa Arab serta mempelajari Islam dengan sangat hati-hati. Ia berkata bahwa sesungguhnya ia mengakui Islam secara intelektual dan juga secara spiritual. Namun karena adanya perbedaan mahdzab tadi, ia ingin mencari jawabannya, jika ia tidak bisa menemukan jawabannya, maka ia akan keluar dari Islam.

Syukurlah kemudian ia menemukan jawabannya. Bahwa ternyata Imam Hanafi tidak bermahdzab Hanafi, Imam Syafi'i tidak bermahdzab Syafi'i, Imam Malik tidak bermahdzab Maliki, begitu pun dengan Imam Ahmad ibn Hanbal, ia tidak bermahdzab Hanbali. Lalu apa mahdzab mereka? Mahdzab mereka adalah mahdzabnya Rasulullah. Karena memang Imam Abu Hanafi juga Imam Syafi'i berkata bahwa apa yang datang dari Rasulullah, maka itulah mahdzab mereka. Alhamdulillah, ia menemukan jawabannya lalu semakin mempelajari Islam.

Lepas pendidikan S-1 nya di Madinah, ia melanjutkan studi S-2 nya di Riyadh, yakni di King Saud University. Di sana, selain berkuliah ia pun mengajar di suatu tempat di sana. Pada saat itu terjadi peperangan sehingga banyak tentara asal Amerika yang dikirim ke sana. Ajaibnya, Bilal Philips mampu mengislamkan hingga 3.000 tentara saat itu.


Pada suatu waktu, orangtuanya pergi ke Riyadh dan tinggal bersamanya. Maka saat itu terpikir olehnya, bahwa ia telah berdakwah ke sana-sini, mengislamkan ribuan orang, namun orangtuanya sendiri belum memeluk Islam. Karenanya, ia mencoba mendakwahi orang tuanya terus menerus. Belasan hingga puluhan tahun ia coba namun belum berhasil. Bahkan pernah, saat ia menulis sebuah buku (yang kini berjudul The True Religion of God), ia meminta ibunya untuk mengedit naskahnya, memeriksa apakah ada kesalahan dari segi sistematika penulisan, dan lain sebagainya. Ibunya lalu memeriksanya dan akhirnya mengatakan tidak ada yang salah, saat itulah Bilal Phillips kembali mencoba mengajak orangtuanya pada Islam, namun tetap tidak berhasil.

Hingga akhirnya setelah ia meraih gelar Ph.D, ia kembali ke Kanada dan menengok orang tuanya. Mengejutkan, bahwa suatu hari ibunya datang padanya dan mengatakan bahwa ia telah masuk Islam, keesokan harinya giliran sang ayah yang mengatakan bahwa ia telah masuk Islam. Maka inilah kehendak Allah, bahwa dakwah itu adalah sebatas kewajiban, mengenai hasilnya itu menjadi urusan Allah. Setelah sekitar 20 tahun mengajak orangtuanya pada Islam, maka pada saat di titik ia menyerah, Allah menghendaki kedua orangtuanya masuk pada Islam.

Orangtuanya berkata, bahwa ada perbedaan antara perlakuan anak-anak mereka kepada keduanya. Bahwa Bilal Philips dan saudara angkatnya memperlakukan mereka dengan sangat baik, sangat dekat dan begitu peduli padanya. Berbeda dengan saudara-saudara kandung Bilal Philips, mereka tidak berlaku sebaik itu. Maka, jelas bahwa haruslah ada perbedaan sikap dan perilaku antara seorang Muslim dan bukan. Seorang Muslim begitu memuliakan orangtua, dan bersikap lembut (tetapi tegas, teguh dan keras ketika berkenaan dengan Aqidah).

Maka begitulah kisah Bilal Philips, kisahnya menuju cahaya hidayah. Ia berkata bahwa ia memulai dari nol, "I was start from nothing!" Namun ia bisa menjadi seorang muslim yang baik dan berdakwah dengan begitu luar biasanya. Maka ia kembali  berpesan agar berdakwahlah, karena nantinya itu akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.

Spread the message (Islam) to your friend! Then, to the world!

No comments:

Silakan berkomentar, gunakanlah bahasa yang santun dan sopan serta sesuai dengan tulisan di atas