Dua Manusia, Dua Zaman, Dua Daerah, Satu Kata: "Insipirator!"

بسم الله الرحمن الرحيم



Indonesia, satu kata yang mewakili ribuan pulau, jutaan kekayaan alam di nusantara.
Indonesia, satu kata yang menyatukan beragam suku, agama, ras di negeri ini.
Ya.. Indonesia,
Satu negara dengan jumlah penduduk yang sangat banyak ini memiliki begitu banyak kekayaan, suku, budaya, daerah yang telah bersatu. Maka, dari banyak suku dan daerah ini tentunya masing-masing memiliki tokoh yang luar biasa, yang diingat, bahkan diabadikan hingga kini. Kita tentunya kenal akan tokoh besar macam Ir. Soekarno, Muhammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan lain sebagainya. Namun dari sekian banyak tokoh negeri, ada tiga tokoh yang mungkin tidak terlalu banyak dikenal orang, tiga tokoh dari daerah yang berbeda, tapi ketiganya memiliki kesamaan: Inspirator!
Ya, tiga tokoh itu adalah Keumalahayati, Haji Abdul Malik Karim Abdullah, serta Oto Iskandar di Nata.
Berbeda daerah... sama-sama menjadi inspirasi...

INSPIRASI SATU: Keumalahayati
Jauh,  jauh sebelum lahirnya Dewi Sartika, Sang Inspirator Perempuan kebanggan Jawa Barat, atau sebelum munculnya R.A. Kartini, perempuan yang disebut sebagai “Tokoh Emansipasi Wanita” asal Jepara. Jauh, jauh sebelum munculnya dua tokoh perempuan itu, seorang perempuan yang bersahaja, seorang perempuan yang begitu dahsyat berjuang demi negerinya, Keumalahayati.
Sosok dahsyat asal Aceh, Keumalahayati.
Keumalahayati  -diperkirakan hidup sekitar akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16- adalah putri dari Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya adalah Laksamana Muhammad Said Syah, putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah Kesultanan Aceh Darussalam sekitar rahun 1530-1539 M. Sultan Salahuddin Syah sendiri adalah putra dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530 M) yang merupakan pendiri Kesultanan Aceh Darussalam. Maka jelas, Keumalahayati adalah keturunan bangsawan, keturunan yang terpandang.
Ia sempat menempuh pendidikan keagamaan di Meunasah, Rangkang, dan Dayah, lalu ia mengikuti karir ayah dan kakeknya sebagai Laksamana, maka ia masuk ke Akademi Militer Mahad Baitul Makdis, yang terdiri dari Angkatan Darat dan Angkatan Laut. Kegigihannya dalam belajar di Akademi Militer membawanya menjadi pelajar yang berprestasi sehingga ia berhak memilih jurusan yang ia inginkan, dan seperti yang kita duga, ia memilih jurusan Angkatan Laut demi citanya menjadi seorang Laksamana. Dan dari sinilah kisah dahsyatnya dimulai...

Keumalahayati lalu diangkat sebagai Komandan Protokol Istana Darud-Dunia di Kesultanan Aceh Darussalam oelh Sultan Alauddin Riayat Syah al-Mukammil, jabatan yang amat dipercayakan sultan kepadanya, jabatan yang tinggi dan terhormat, sehingga tanggung jawab besar ada padanya.
Lalu kisah perjuangannya pun dimulai dari sebuah perang di perairan Selat Malaka, antara Portugis dan Kesultanan Aceh Darussalam, selain itu pertempuran dahsyat di Teluk Haru yang akhirnya dimenangkan Armada Aceh, meski ribuan orang tewas, termasuk suami Keumalahayati.
Maka ia pun berjanji akan menuntut balas akan kematian suaminya, dan memintalah ia kepada Sultan al-Mukammil untuk membentuk Armada Aceh yang seluruh prajuritnya adalah perempuan-perempuan janda yang suaminya gugur dalam Perang Teluk Haru. Permintaan ini pun dikabulkan Sultan. Keumalahayati akhirnya memimpin Armada Inong Balee dan diangkat sebagai Laksamananya, dan Keumalahayati menjadi Laksamana Perempuan pertama di dunia, Ia pun memimpin sekitar 2.000 prajurit. Ia lalu membangun Benteng Inong Balee dengan tinggi 100 meter dari permukaan laut.
Dari sinilah Ia dan Inong Balee memulai perjuangan. Berbagai pertempuran terjadi, hingga akhirnya yang paling dikenal adalah saat itu, 11 September 1599. Kala itu Belanda dipimpin Cornelis de Houtman berkonfrontasi di Aceh, dan dihadang oleh Armada Aceh, hingga akhirnya setelah menempuh pertempuran sengit, Cornelis de Houtman terbunuh, dan Keumalahayati, sang Laksamana yang mengakhiri hidup si penjajah ini. Dan itulah, Laksamana Keumalahayati, Laksamana Perempuan pertama di Dunia, mengakhiri hidup Cornelis de Houtman.
Ah indahnya bila semangat perjuangan ini tetap dijaga perempuan Indonesia masa kini, semangat perjuangan yang tak luntur dari Keumalahayati. Memang kini bukan semangat perang, tapi semangat membangun negeri dengan sepenuh hati.
Laksamana Keumalahayati..

Ketika semua tangan terpaku didagu
Ragu untuk memulai segala yang baru
Lirih terdengar suara ibu
Memanggil jiwa untuk maju

Dari tanahmu hei Aceh
Lahir perempuan perkasa
Bukan hanya untuk dikenang
Tapi dia panglima laksamana jaya
Memanggil kembali untuk berjuang

Dia Perempuan Keumala
Alam semesta restui
Lahir jaya berjiwa baja
Laksamana Malahayati
Perempuan ksatria negeri

Tinggal kubur kini hening sepi menanti
Langkah langkah baru tunas pengganti
Hei Inong Nanggroe bangkitlah berdiri
Ditanganmu kini jiwa anak negeri

Dia Perempuan Keumala
Alam semesta restui
Lahir jaya berjiwa baja
Laksamana Malahayati
Perempuan ksatria negeri

(Iwan Fals – Malahayati)

INSPIRASI DUA: Haji Abdul Malik Karim Abdullah
Haji Abdul Malik Karim Abdullah, sering kita kenal dengan HAMKA, seorang manusia besar, seorang yang dibilang  cukup lengkap, seorang ‘ulama, sastrawan, ahli filsafat, politisi besar di eranya. Ia lahir pada 17 Februari 1908. Ayahnya, Haji  Abdul Karim ibn Amarullah, adalah seorang pendiri Sumatera Thalawib, sekolah Islam modern pertama di Indonesia.

Hamka, memulai pendidikan di Sekolah Dasar Maninjau selama dua tahun, lalu melanjutkan ke Sumatera Thalawib yang didirikan ayahnya. Selain itu, ia juga mencari ilmu ke berbagai guru bahkan berkelana hingga Jawa, dan sempat berguru kepada H.O.S. Tjokroaminoto bersama Soekarno, Kartosuwirjo, Musso, serta Alimin. Maka, unik ketika Hamka yang merupakan Ketua Majelis Ulama Indonesia pertama berbeda pandangan dengan Soekarno, bahkan beberapa kali terlibat konflik.

Dalam karier politiknya, Ia merupakan salah satu anggota Sarekat Islam (SI), serta kemudian menjadi anggota Masyumi, dan di sinilah idealismenya seringkali bergesekan dengan mainstream politik kala itu. Ia pernah mengatakan agar memasukkan kalimat di sila pertama sesuai pada Piagam Jakarta, tapi ditolak keras oleh Parpol di masa itu yang mayoritas Nasionalis serta Komunis. Ia juga mengeluarkan fatwa (saat menjabat Ketua MUI) tentang pelarangan perayaan Natal bersama yang lagi-lagi mendapat penolakan. Ia pun berbeda pandangan saat Menteri Pendidikan dan kebudayaan Daoed Joessoef mengeluarkan kebijakan penghapusan libur selama Ramadhan. Bahkan Hamka pernah dipenjara pada 1964-1966 oleh sahabatnya sendiri, Presiden Soekarno karena dianggap Pro-Malaysia, namun dipenjara bukan berarti ia diam, Hamka mulai menulis sebuah karya besarnya, Tafsir Al-Azhar, dan Ia menjadi salah satu dari dua orang Indonesia yang menulis tafsir Alquran selain Quraish Shihab dengan Al-Mishbahnya. Meski begitu, Hamka lah yang menjadi Imam Shalat saat Soekarno meninggal, sebuah sikap yang luar biasa yang menunjukkan tak ada dendam Hamka atas Soekarno.

Hamka juga seorang sastrawan, ratusan karyanya diterbitkan, baik melalui buku, majalah, maupun artikel-artikel. Karya yang paling mahsyur adalah Di Bawah Lindungan Kabah, serta Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Selain seorang penulis, ia adalah novelis, wartawan, editor, penerbit.
Buku-bukunya tidak hanya bernafaskan Islam, namun juga bertemakan roman, sejarah, pemikiran, pendidikan, sosial masyarakat, biografi, otobiografi, teologi, fiqh, tasawuf, dan banyak lagi. Dan atas berbagai upayanya dalam mensyiarkan Islam, pada 1959 Hamka digelari Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, yang merupakan salah satu Universitas Islam terkemuka dunia. Gelar serupa ia peroleh juga dari Universitas Negeri Malaysia dalam bidang sastra, serta gelar Profesor dari Universitas Prof. Dr. Moertopo. Maka dengan segala karya-karyanya yang meliputi berbagai bidang serta berbagai gelar yang ia terima menunjukkan keluasan ilmu, kecerdasan serta kejernihan fikiran yang dimiliki Hamka.

Sosok besar ini, yang kita sebut Buya Hamka (Buya – panggilan orang Minangkabau untuk orang yang sangat dihormati) menghadap Rabbnya dalam usia 73 tahun pada 24 Juli 1981. Ia tak hanya dihormati di dalam negeri, namun juga di berbagai pelosok Asia Tenggara serta beberapa negara Arab.

Buya Haji Abdul Malik Karim Abdullah, sosok yang menginspirasi kita dalam banyak hal, keluasan ilmunya, dalamnya pemahaman, serta kelengkapannya sebagai sastrawan, politisi, serta ‘ulama.
Semoga kebaikan atasnya.

 ________________________________________________________________________________

Begitulah, dua tokoh berbeda zaman, berbeda memang dari segi perjuangan dan kondisi masa dan massa. Namun saat keduanya memberikan pelajaran luar biasa, maka layaklah kita cerna dan semoga bermanfaat dan kebaikan bagi semua.
Wallahu'alam bishshawab.

Sumber:
 

Catatan:
Ini merupakan post khusus HUT ke-67 RI, awalnya akan diikutkan di sebuah lomba thread di KASKUS juga dalam rangka HUT ke-67 RI, post ini awalnya akan dikategorikan pada lomba itu di [Tokoh dan Pahlawan Nasional], hanya saja tidak jadi karena ada sesuatu hal.

No comments:

Silakan berkomentar, gunakanlah bahasa yang santun dan sopan serta sesuai dengan tulisan di atas